Oleh: Aprianna (Pengurus IWB Muscat)
Kabaryaman.com – Sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, wilayah Nusantara telah diakui secara sah sebagai satu kesatuan. Di antara ribuan pulau yang membentang dari Sabang hingga Merauke, terdapat satu permata timur yang kaya, dengan keindahan alam yang memukau dan keanekaragaman budaya yang luar biasa: Papua.
Mengapa Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukanlah sekadar klaim politis, melainkan sebuah realitas yang berakar kuat pada sejarah panjang, hukum internasional, dan ikatan sosial-budaya. Secara historis, klaim Indonesia atas Papua (dulu dikenal sebagai Irian Barat atau Nederlands Nieuw-Guinea)
didasarkan pada prinsip uti possidetis juris. Prinsip hukum internasional ini menyatakan bahwa batas-batas negara baru yang merdeka adalah sama dengan batas-batas wilayah kolonial penguasa sebelumnya.
Dalam hal ini, wilayah kolonial Hindia Belanda meliputi seluruh wilayah yang kini menjadi Indonesia, termasuk Papua di bawah administrasi Belanda. Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, batas-batas teritorial Hindia Belanda secara sah menjadi batas-batas Republik Indonesia yang baru. Namun, pengakuan historis ini tidak didapat dengan mudah.
Setelah kemerdekaan, Belanda enggan menyerahkan Papua, memicu ketegangan diplomatik dan militer yang dikenal sebagai Konfrontasi Irian Barat. Puncak dari perjuangan ini adalah Trikora (Tri Komando Rakyat) pada tahun 1961 yang menyerukan pengembalian Irian Barat ke pangkuan RI. Perjuangan ini menyoroti tekad bangsa Indonesia untuk menyatukan seluruh wilayah yang dulunya dijajah oleh Belanda, menegaskan bahwa kedaulatan Indonesia harus mencakup keseluruhan bekas wilayah Hindia Belanda.
Titik balik yang krusial dicapai melalui perjanjian internasional yang difasilitasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yaitu Perjanjian New York pada tahun 1962. Perjanjian ini menetapkan bahwa administrasi Papua akan diserahkan dari Belanda kepada UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) dan kemudian kepada Indonesia, dengan syarat diselenggarakannya penentuan pendapat rakyat di masa depan.
Perjanjian ini adalah fondasi hukum internasional yang sangat kuat bagi transfer kedaulatan. Penentuan nasib sendiri kemudian dilakukan pada tahun 1969 melalui mekanisme yang disebut Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat). Meskipun pelaksanaannya menuai kontroversi dan perdebatan, hasilnya adalah Pepera bulat memilih untuk bergabung dengan Republik Indonesia.
Hasil ini kemudian diterima dan disahkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB No. 2504 pada sidang ke-24. Pengesahan PBB ini secara definitif memberikan legitimasi hukum internasional yang tak terbantahkan atas integrasi Papua ke dalam NKRI.
Selain aspek sejarah dan hukum, alasan kuat lainnya terletak pada dimensi geo-strategis dan ekonomi. Papua adalah wilayah yang kaya akan sumber daya alam, mulai dari hutan yang luas, keanekaragaman hayati, hingga kandungan mineral berharga.
Integrasi Papua ke Indonesia memungkinkan pengelolaan sumber daya ini dalam kerangka nasional, yang seharusnya diarahkan untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, termasuk penduduk asli Papua, melalui pembangunan dan otonomi daerah.
Dari segi sosial dan budaya, meskipun Papua memiliki keunikan yang sangat khas, ia juga merupakan bagian dari keragaman budaya dan suku bangsa Indonesia. Semboyan nasional, “Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda tetapi Tetap atu), adalah filosofi yang mencakup seluruh entitas, termasuk masyarakat Papua dengan ratusan suku dan bahasa lokalnya.
Ikatan budaya dan kekerabatan antar-pulau telah terjalin lama, jauh sebelum era kolonial, melalui jalur perdagangan dan migrasi.
Saat ini, Pemerintah Indonesia terus berupaya memperkuat ikatan ini melalui kebijakan Otonomi Khusus (Otsus), yang memberikan kewenangan lebih luas kepada pemerintah daerah Papua untuk mengelola sumber daya dan mengatur kebijakan lokal, sambil tetap mengakui status keistimewaan penduduk aslinya.
Otsus bertujuan untukmempercepat pembangunan, meningkatkan pelayanan publik, dan menghormati hak-hak kultural orang asli Papua, sebagai bentuk tanggung jawabnegara terhadap wilayahnya.
Kesimpulannya, identitas Papua sebagai Indonesia didukung oleh tiga pilar utama: sejarah kolonial yang menempatkannya dalam satu wilayah Hindia Belanda; perjanjian internasional dan resolusi PBB yang memberikan legitimasi hukum atas integrasinya; dan prinsipkeutuhan bangsa dalam bingkai NKRI.
Papua bukan sekadar ‘Wwilayah tambahan, melainkan sebuah bagian dari tubuh bangsa yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan provinsi lainnya.
Oleh karena itu, perjuangan untuk kesejahteraan dan keadilan di Papua adalah perjuangan seluruh bangsa Indonesia. Pengakuan bahwa Papua adalah Indonesia berarti mengakui tanggung jawab kolektif untuk menyelesaikan masalah sosial, ekonomi, dan politik di sana, memastikan bahwa hak-hak masyarakat Papua terpenuhi sepenuhnya, dan bersama-sama mewujudkan cita-cita para pahlawan dalam bingkai persatuan dan kesatuan.










